Rabu, 30 November 2011

Winter Coat

Gerah. Keringat meluncur deras di sekujur tubuhnya. Melonggarkan dasi tak berarti apa-apa. Tapi masih Betah. Ah sudahlah.

Hawa dingin Bandara Chek Lap Kok masih terasa. Masih terasa di jaket itu.

Changi Airport pak!, Cepat ya!” Katanya dengan nada semangat. Tak peduli apakah si supir akan mengerti atau tidak, tapi dia yakin akan sampai di salah satu bandar udara terbesar di Asia itu.

“Here we go sir”. Ujar si supir sambil menghentikan taksi nya di depan terminal satu.

“Thank you so much”. Katanya sambil mengeluarkan beberapa lembar dollar dari jaket tebalnya. Dia pun tersenyum, lalu melangkah. Dan nyaman sekali dengan jaket itu.

Ya, jaket itu.

“Hati-hati dijalan nak, jangan lupa sholat, jaga adik-adik mu.” Lancar terucap dari mulut seorang wanita paruh baya dengan kerudung hitam yang melekat di kepalanya, kali ini tanpa tangis sesenggukan.

Mulutnya mulai merasakan sesuatu yang asin menetes dari kelopak matanya. Lagi. Ia menangis dihadapan ibunya. Tempat ketiga, setelah hotel dan Victoria Park.

Tidak ada jawaban. Ataupun sekedar anggukan. Masih menangis tanpa suara. Dan sedikit sunggingan senyum. Bertambah sedikit lagi. Akhirnya melebar.

“Abang tunggu di rumah ya bu.” Katanya dengan senyum yang semakin melebar.

Dipeluknya sang ibu. Erat sekali. Sangat erat. Pelukan yang dirindukannya selama lima belas tahun lebih.

Dikancingkannya jaket tebal itu. Dan tersenyum lagi. Kali ini bukan karena ibunya. Hanya sebuah kain putih kecil yang dengan gambar setrika dan tulisan ‘Made In Indonesia’.

Ya, jaket itu. Yang baru semalam dibeli Ibunya di sebuah mall besar di Hong Kong.

“We need your signature here Mr. Dicky.” Suara wanita mungil dari balik kaca menyadarkan lamunannya.

Masih tersenyum melihat jaket itu. Ah, lagi-lagi jaket itu. Tak peduli berapa suhu saat ini.

Terlintas semua rencana yang akan dilakukannya setelah sampai dirumah nanti. Dikeluarkannya sebuah buku saku dari jaket tebalnya. Jaket pemberian ibunya.

Sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela. Padahal itu pertama kalinya naik pesawat. Ketiga maksudnya, setelah perjalanan berangkat sehari sebelumnya.

Dilihatnya kalender dari ponselnya. Dia tersenyum sinis. Wajahnya seperti penjahat yang sedang menyiapkan chloroform untuk meracuni orang.

“Terima kasih tuhan.” Ujarnya pelan. Sedikit merasa berdosa bagi yang menciptakan Hari Ibu di tanggal 22 Desember. Karena ia merayakannya di penghujung November.

Dimasukkannya ponsel itu ke jaket tebalnya. Jaket hangat pemberian ibunya. Untuk menghangatkan badannya selama di Hong Kong. Karena ia memang tidak membawa koper atau yang lainnya.

Hanya rindu dan cinta. Yang ia bawa untuk ibunya. Dibalas oleh cinta yang lebih besar oleh sang bunda. Dan representasi cinta buatan Indonesia itu, kini melekat ditubuhnya.

Dilekatkan selekat ia melekatkan cinta untuk ibunya dihatinya. Terima kasih Tuhan. Atas Makhluk ciptaan luar biasamu.

Terima kasih Tuhan. Atas November ini.

“Terima kasih Tuhan.” Tuturnya sambil tersenyum diatas langit Asia.

Air matanya pun berkilauan diterpa Matahari senja.

Terima kasih Tuhan. Terima kasih November.